Friday 27 April 2007

SUDAH LUPA TUH…………………..

Mungkin ada beberapa diantara kita yang masih ingat dengan jingle salah satu iklan obat ini. Mungkin karena saking lakunya obat ybs, tidak hanya sakit kepala masyarakat kita yang hilang, tapi juga ingatan tentang hal-hal lainnya

LUSI ATAU LULA………
Lusi atau Lula tidak sesederhana memberi nama dan memilih antara kalian berdua karena Lusi atau Lula dapat membuat orang-orang di sekitarnya dilupakan dan memberi warna yang berbeda kepada buku-buku sejarah kelak. Lusi bisa jadi Lumpur Sidoarjo dan Lula bia jadi Lumpur Lapindo (yang dimana? Yang di Sidoarjo atau bahkan sebenarnya tidak pernah ada Lula). Bukan ingin menjadi ahli tata bahasa, meskipun pernah menjadi assisten dosen bahasa indonesia, tapi hanya ingin penyakit “mudah lupa susah ingat” bangsa ini berangsur sembuh. Hanya ingin kejelasan dari pihak-pihak yang berwenang, milik siapakah lumpur ini karena si pemiliklah yang harus bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkannya. Pemilik dalam hal ini adalah pihak yang menyebabkan lumpur ini keluar ke permukaan atau setidaknya memicu semburan lumpur sehingga menjadi lebih ganas dari yang seharusnya karena toh Lula atau Lusi ini memang harus keluar juga. Jadi pemiliknya jelas bukan negara tempat semburan lumpur tadi berada, ntar malah dipanggil Luisa/Lusia (Lumpur Indonesia). Sudah saatnya bukan terus berdiskusi tentang sebab lumpur keluar, tapi mencari solusi yang adil untuk pihak-pihak yang dirugikan. Terlalu naif kalau memberikan ganti untung berdasarkan kerugian fisik belaka (rumah & sawah), tapi juga memberikan ganti untung terhadap kerugian sosial dan psikologis yang timbul. Kata teman saya, kalau nabrak babi di Papua, ganti untungnya diitung sampai anak-cucu si babi, nah kalo rumah dan sawah, seharusnya bisa dihitung juga hasil dari kelolaanya pada masa-masa mendatang, misal jika rumah dikontarkkan (bukan dijual) atau kalo sawah panen empat kali dalam setahun selama sepuluh tahun, berapa dunk ganti untungnya J. Pembentukan badan seperti BRR Aceh-Nias seyogyanya dilakukan sejak pertama kali lumpur ini keluar, bukan dengan sistem tambal-sulam als PSSI. Para korban harus dapat perlakuan yang sama dengan korban Tsunami, tentu saja dalam breakdown teknis yang berbeda. Tapi sampai saat ini belum terdengar ada pusat-pusat rehabilitasi untuk anak-anak korban lumpur atau pusat pengajaran yang menggantikan fungsi sekolah (termasuk mengeluarkan ijazah dan surat-surat resmi) yang dijalankan secara kontinu sampai Lusi atau Lula ini benar-benar tuntas diselesaikan. Tidak hanya itu, kerugian ekonomi berupa kehilangan lapangan pekerjaan juga harus masuk hitungan. Tapi, sampai saat ini belum terdengar ada sentra-sentra ekonomi baru yang sengaja dibentuk sebagai lapangan kerja baru bagi para korban lumpur yang kehilangan mata pencahariannya. Tentu kita tidak meragukan jiwa dan kompetensi kewirausahaan dari pihak yang terkait dengan lumpur ini, saya rasa dengan jiwa dan komptensinya seharusnya mudah membentuk sentra ekonomi baru sebagai peganti sawah dan pabrik yang terendam lumpur. Sulit??,memang, tapi itulah dia, setiap tindakan adalah pilihan dan setiap pilihan punya konsekuensi sendiri. Termasuk pilihan yang saya ambil untuk menulis terus tanpa solusi, setidaknya konsekuensinya bikin jemari pegel. Kedua hal diatas belum terdengar, setidaknya oleh saya J…Nah, Lusi atau Lula, setidaknya saat ini berterimakasihlah pada Praja-Praja kita di IPDN karena sejenak akan membuatmu tidak dilirik-lirik dulu dengan pandangan genit para lelaki

PRAJA KU SAYANG…PRAJA KU MALANG
“Malang” karena sepertinya dirimu akan daku lupakan karena UAN tahun ini bisa saja bakal runyem dan kisruh lagi sehingga beritamu tidak ada dihalaman depan koran atau berita pilihan METRO TV, dan bisa juga karena telah dibentuk “Tim Evaluasi yang akan bekerja selama dua bulan ini” sehingga daku menganggap dirimu kini telah berada di tangan yang tepat dan mulai memikirkan UAN. “Sayang” karena melihat langsung kalian saat datang seminar ke IPDN Juni 2005, “Strategi Manajemen Pemerintahan Pasca Bencana”, sungguh, ternyata kita seusia, kita sebaya. Jangan-jangan ada salah satu dari kalian yang daku jabat tangannya erat sudah tidak ada lagi sekarang.
Tua itu pasti, dewasa itu pilihan. Perbaikan itu pasti, bubar itu pilihan. Pada acara-acara dialog interaktiv di pelbagai TV, banyak penelepon yang ingin IPDN dibubarkan saja. Wajar saja mereka begitu, masyarakat sudah bosan dengan janji-janji yang ternyata tidak ditepati atau dilaksanakan secara asal-asalan. Asal-asalan secara kasat mata pula, para terpidana penjara kasus pembunuhan salah seorang Praja (2003) saja bisa diterima kerja/dinas di pemkot/pemkab/pemprov masing-masing. Sungguh-sungguh tontonan kesewenang-wenangan ala birokrasi yang tidak cantik dan ceroboh. Dan model begini yang (mungkin) terjun ke dunia politik kelak??? Pantas saja, jika akan terlihat manuver politik di pentas nasional yang sama sekali tidak bisa dibilang cantik kalo tidak boleh dibilang ala preman pasar. Coba kita tengok sejenak hal yang dibanggakan dari sistem pembinaan IPDN saat ini. Bisk-bisik tetangga di TV siy katanya kedisplinan dan intelektual dalam bidangya. Hmm…apa iya? Kedisiplinan, coba lihat budaya (maaf) para pegawai di kantor kecamatan, sudah karakter orang Indonesia kalo jadi anak buah pasti akan berusaha meniru perilaku bosnya, apa iya para pegawai tersebut memperlihatkan kedisiplinan ala IPDN? Memang tidak semuanya, tapi sebagian besar (kata orang). Tanyaken Napa. Lagian apa kedisplinan ala IPDN itu relevan dalam tugasnya sebagai pelayan publik kelak? Jelas kedisplinan ala militer IPDN tidak akan setepat guna pendidikan TNI karena sudah salah alamat, dan bisa aja tidak meresap+dihayati karena dipaksa. Intelektual, sepertinya sulit kalo mw dibilang unggul, saya meragukan kualitas materi dari jurusan2 tersebut. Buktinya untuk tingkat pendidikan tinggi, jurusan2 tersebut bukanlah termasuk yang top di Indonesia. Apa iya kampus dengan rangking 250 dunia dan 275 dunia (bahkan rangking 1 sedunia untuk jurusan2 ilmu sosialnya) kalah inteleknya dengan IPDN?, belum lagi kampus rangking 275 dunia yang secara de facto masih mengklaim dirinya sebagai yang terbaik di IndonesiaJ, wah3x, kalo jawabanya “iya”, bisa runyem dan kisruh urusannya J. SERBA NANGGUNG…kedisplinan nanggung, intelek nanggung. Yang terbaik bukan, tapi jadi lebih baik juga tidak, setidaknya itulah yang dirasakan masayarakat. Kalapun IPDN tidak jadi dibubarkan, sebaiknya penundaan penerimaan Praja baru bukan satu tahun, tapi 4 tahun. Ya 4 tahun, individu2 yang ada di IPDN sekarang harus “cuci gudang” dulu karena di otak mereka, setidaknya walau sedikit, pasti ada budaya kekerasan yang dicontohkan dari seniornya sehingga dikhawatirkan akan melakukan hal serupa kepada juniornya. 4 tahun!!!, agar praja yang baru masuk kelak tidak akan mendapat doktrinasi2 serupa dan atmosfer kekerasan itu bisa diminimalisir dengan optimal. Atau praja2 baru kelak di“BKO”kan sajaJ di kampus2negri/swasta dengan biaya negara di jurusan yang serupa agar mereka dapat bersentuhan langsung dengan dunia luar dan masyarakat (mahasiswa non IPDN, tukang parkir, pemulung, anak jalanan) yang akan mereka layani kelak. Banyak pilihan yang lebih cerdas dan efektif dan jangan karena kebanggan historis tetap memaksakan keberadaan IPDN, toh historis yang dibanggakan juga tidak bisa dibilang …………J..


UAN DATANG LAGI……
Entah mengapa tahun ini ada UAN (Ujian Akhir Nasional) lagi. Yang jelas salah satu sebabnya adalah “males mikir” dari pihak-pihak terkait menciptakan sistem penilaian kegiatan belajar pendidikan menengah, lalu mengklaim bahwa sistem yang ada sudah benar, hanya implemtasinya saja yang salah. Kisruh dan heboh UAN dalam dua tahun terakhir tampaknya sudah kita lupakan. Kembali menanyakan efektivitas UAN, apakah ujian ini memang benar perlu? Mari sedikit berpikir pragmatis. ”UAN dijadikan dasar hukum laik/tidaknya siswa melanjutkan sekolah ke tingkat kampus/kuliah”, padahal kampus ybs sendiri tidak menganggap/mengakui nilai UAN sebagai gambaran intelektualitas calon mahasiswanya, buktinya tetap ada SPMB untuk masuk PTN dan tes-tes masuk mandiri oleh PTS. Jadi UAN untuk apa ? Lebih baik seperti EBTANAS, meskipun kampus tidak menganggap hasilnya, tapi setidaknya EBTANAS tidak dijadikan dasar hukum laik/tidaknya siswa untuk dapat melanjutkan sekolah ke tingkat kampus. Atau mau berpikir sedikit substasi “ UAN dapat dijadikan sebagai parameter kemajuan dunia pendidikan nasional”, wah sederhana sekali ya dunia pendidikan itu? bisa diukur melalui empat mata pelajaran saja. Saya tidak mengatakan bahwa empat mata pelajaran ini tidak berguna, tentu saja mereka sangat bermanfaaat, tapi akan lebih bermanfaat jika dipadukan dengan mata pelajaran lainnya sehingga siswa lebih lengkap daya pikirnya ketika melihat suatu kejadian disekitarnya. Sekarang apa yang terjadi? Siswa dalam KBMnya disekolah hanya berkonsentrasi kepada UAN, sehingga ada kemungkinan mereka kurang menghayati mata pelajaran lain. Belum lagi “budaya instan” yang semakin menjadi-jadi dengan maraknya kasus kebocoran soal dan contek-mencontek untuk mengejar kelulusan di UAN. Jikalau setidaknya, format UAN diubah, misalnya kembali ke sistem EBTANAS atau bahkan hanya ujian lokal sekolah (karena seyogyanya hanya gurulah yang mengetahui perkembangan belajar siswa karena bersama siswa sehari-harinya) ada peluang bagi kita untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. Dalih standardidasi kualitas dunia pendidikan dari pemeritah tidak bisa diterima hingga fasilitas/akses pendidikan di semua daerah di negeri ini sama/telah merata. Bagaimanamungkin memakai sistem standardisasi (UAN) yang sama untuk siswa Jakarta dengan siswa Merauke sana?. Samakan dulu fasilitas/akses pendidikan secara merata barulah terapkan UAN yang sama. Wong, anggaran pendidikan 20% sesuai amanat UU sistem pendidikan nasional saja belum dipenuhi, tapi lebih suka mendahulukan membayar bunga hutang & BLBI. Tolong jangan bilang “memajukan dunia pendidikan itu sulit dan perlu waktu”, memang, tapi itulah kenapa Bapak-Ibu dibayar mahal oleh negara ini sebagai pemerintah. Saya bukan ahli pendidikan (ahli perminyakan juga bukan), hanya saya bingung dengan sistem yang memberatkan rakyat kecil seperti saya ini, kenapa terus digunakan

No comments: