Wednesday 14 February 2007

Kembali Ke Bandung………….

Kembali ke Bandung rasanya seperti kembali ke rumah, sama halnya yang saya rasakan saat kembali ke Cilegon atau Dumai. Kembali ke Bandung kembali melihat sesuatu yang selama beberapa tahun ini seakan sudah menjadi hal rutin; SAMPAH dan resepsi pernikahan, tapi saya belum tertarik membahas masalah yang nomer dua ini. Mungkin, sampah di Bandung sama seperti BANJIR di Jakarta, ada dan datang setiap tahun, tapi tetap disambut biasa-biasa saja. Dua tahun yang lalu, saya berdiri diatas tumpukan sampah di suatu TPS di Bandung. Berdiri gagahnya dengan status “mahasiswa” bersama-sama teman dari kampus lain; merasa bahwa kami memiliki kewajiban menyelesaikan masalah sampah ini, bahkan masalah bangsa lainnya. Mulai dari kotoran manusia hingga belatung sebesar kelingking pun digaruk habis, terus dan terus,hanya dapat dihentikan oleh suara kumandang azan saja. Sekarang, melihat sampah kembali, hanya dapat mencium baunya saja, tapi perasaan “ kewajiban mengatasi sampah” telah hilang entah kemana. Getar-getar kepedulian itu kini hanya sesekali terasa. Semangat itu masih tetap ada, meski (mungkin) hanya tinggal setitik sekarang. Alih-alih merasa bahwa perjuangan kini harus dilakukan melalui jalur yang berbeda, sesuai bidang pekerjaan, malah sepertinya sama sekali tidak berkontribusi sama sekali untuk sekitar. Dunia yang dulu terasa sangat berbeda dengan dunia saat ini. Rasanya-rasanya, daripada berbicara konsep penanggulangan sampah, melihat dan mencoba mengutak-ngatik NAB reksadana dan produksi minyak lebih terasa menyenangkan dan menantang sekarang.

Kembali ke sampah. Sampah di Bandung diatasi dengan sigap dan tangkas oleh berbagai pihak disana. Meskipun belum sesuai harapan, tapi setidaknya terlihat adanya kemajuan disana-sini (setidaknya tidak lagi meluber hingga ke jalan raya). Mungkin ITB kebakaran jenggot (berhubung banyak orang berjenggot di ITB), terutama kawan-kawan Biologi dan Teknik Lingkungan. Sebagai institut teknologi yang katanya nomer wahid di Indonesia dan dikenal di dunia, ternyata belum mampu mengatasi masalah sampah untuk skala lokal. Dengar-dengar ITB telah memiliki beberapa hektar lahan untuk proses pengomposan sampah organik, kalau memang begitu; ya bagus atuh, meski belum bisa mengcover sampah se-Bandung. Diharapkan, usaha ini dapat menyentil pemkot Bandung untuk lebih serius lagi menangani masalah sampah. Kita sebagai masyarakat juga bisa berpartisipasi untuk mengatasi masalah sampah ini. Paling minimal dengang memisahkan sampah berdasarkan organik atau non organik. Bingung istilahnya “ abdi mah jalmi alit”, ya dipisahkan saja sampah yang terbuat dari plastik dengan bukan plastik. Sebenarnya, masalah sampah ini juga berpotensi mendatangkan keuntungan finasnsial bagi masyarakat. Kalau saja sampah plastik yang telah dikumpulkan itu dikilo, lumayan lah untuk nambah belanja dapur ibu-ibu.Banjir??? Kalau ada institut teknologi jakarta, mungkin ada yang kebakaran jenggot juga kali yee…:)
Semuanya terasa sangat teratur sekarang, setidaknya untuk saya pribadi. Kewajiban-kewajiban seperti sudah dibatasi dengan jelas, just do my own task. Kadang merasa rindu akan masa lalu, ada semacam kebebasan yang belum ditemukan kembali pada saat ini. Yah, memang begitu manusia. Pas bebas ingin terikat & pas terikat ingin bebas. ;)

1 comment:

Galuh S Indraprahasta said...

Perlu membangun kesadaran semua orang dari masyarakat kecil sampai pejabat. Masyarakat masih buang sembarang, pejabat juga belum membuat terobosan inovatif. Apalagi Open Dumping masih jadi teknik di hampir seluruh TPA yang jelas akan menimbulkan polusi dan pengurangan lahan